Cerpen ^_^


SENJA DALAM TEMARAM

          Sepanjang perahu mendayung, tak luput sedikit pun dari perhatianku, laut biru yang terbentang, fajar yang meninggi, langit yang membiru juga bentang cakrawala.
          Membayangkan itu semua, seolah-olah tenggelam dalam surga dunia. Terbangun di alam nyata, tak kubiarkan diriku terlambat mengabadikan semua yang terekam dalam penglihatanku. Cepat-cepat ku keluarkan barang berharga dari dalam tas kecilku, yang membuatku selalu bernostalgia. “Jepret!” bunyi yang tidak asing lagi bagiku. Ya. Sudah tentu itu sebuah kamera, kamera dengan segala kecanggihannya yang menguntungkan bagiku.
          Tak terasa waktu begitu cepat. Tersadar, aku sudah menapaki pasir-pasir putih halus, yang membuat kakiku terasa berjalan dilantai yang licin. Begitu luar biasa pemandangan sekelilingku, tak tahan ingin kujelajahi semua yang terbentang dihadapanku saat ini ibarat mengarungi sebuah samudra pasifik tak peduli dengan resiko dan tantangan yang ada di depan.
           Aku mulai menyesuaikan diri dengan penduduk yang ada di daerah ini. Daerah yang jarang tersentuh para wisatawan bahkan orang tak banyak tahu ataupun tak tahu daerah ini,  daerah yang paling ujung indonesia, bukan sabang ataupun merauke, tetapi paling ujung sabang, terpencil, terasri dan luar biasa terindah. Daerah ini bernama Meleungi.
          Walaupun terpencil, tak kalah sumber daya alam yang dihasilkan dengan daerah-daerah lain di indonesia.
          Mengetahui apa yang ada dipikiranku, ingin rasanya ku berlari bebas sambil menghirup udara segar dan melompat setinggi mungkin sampai mencapai langit biru lalu jatuh terhempas ke dinginnya air laut yang bagaikan permata. Namun itu belum seberapa, masih banyak hal yang ingin ku bayangkan dan ingin ku wujudkan, salah satunya jajaran gunung hijau yang tidak terlalu terjal, lama ku pandangi pemandangan yang ada disekitarnya, sampai salah seorang diantara kerumunan orang disini menepuk pundakku. Aku pun menoleh, dan memandangi orang itu agak lama, dengan baju yang sederhana dan celana pendeknya ia tampak seperti pemandu wisata. Sejak tadi ia mengikuti arah pandangku ke jajaran gunung hijau itu. “Menantang bukan?” tanyanya penuh semangat, aku agak lama memberikan respon lalu aku memahami kata-katanya. “oh iiya.. sudah tentu. Sangat... sangat menantang” sahutku senyum, “kenalkan nama saya Ben, Beni Lesmana, pemuda disini” katanya nyengir-memperkenalkan diri. “Saya Albert Davidio, panggil saja Al atau Dave” kataku senyum seraya menjabat tangannya.
          Itulah interaksi pertamaku. “dari mana? Jakarta? Bandung? Bali? Bogor?” tanyanya, “dari Jakarta” sahutku. “haduuh jaut banget ya.. kenapa pilih wisata ke sini?” tanyanya heran. Aku juga bingung kenapa aku memilih wisata sejauh ini, “ingin cari pengalaman baru...” sahutku sekenanya seraya nyengir. “oohh.. mau jalan-jalan?” aku pun mengangguk.
          Dihari pertama kesini aku sudah diajak berkeliling desa Anyar sampai setengah hari. Ben mengajakku menjelajahi desa sampai bagian dalamnya, berinteraksi dengan warga, dan bermain dengan anak-anak di desa itu. Agak menjelang sore Ben mengajakku ke tempat Perajut anyaman dan pembuat tembikar. Kami masuk ke dalam, disana ada sekitar 25 pekerja salah satunya 15 gadis di desa ini dan sisanya para ibu-ibu serta anak-anak yang sedang belajar membuat tembikar. Aku memperhatikan seluruh sisi dan sudut tempat ini, nyaman, bersih dan teduh walaupun  banyak sinar matahari masuk ke sela-sela jendelanya. Ben memperkenalkan diriku. “Baiklah teman-teman, ini teman  baruku dari Jakarta, namanya Albert Davidio, semoga kalian dapat berteman baik dengan teman petualangku” katanya seraya nyengir.
          Disini aku belajar membuat tembikar dan duduk di samping salah satu gadis disini, ku perhatikan ia tidak sedang membuat tembikar melainkan membuat lukisan dari anyaman. Ku perhatikan lukisannya agak lama, ia melukis suasana anak-anak sedang bermain bebas di pantai, sungguh indah sekali estetika yang ia buat. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku, risih dengan perhatian yang ku lontarkan. Wajahnya, raut mukanya sungguh berbeda dari gadis di Jakarta, wajahnya berseri-seri, merona, putih dan bersih selain itu alisnya yang tebal dan panjang, bulu matanya yang lentik menggambarkan karakter yang sabar, pendiam dan pemalu. Ia pun memalingkan wajahnya, aku pun tersenyum. “hmmm.. cantik bukan???” bisik Ben. Aku pun menganguk seraya melilitkan benang ke salah satu sisi tembikar. “Namanya Vienna Larasati, umurnya 18 tahun ia tidak melanjutkan ke perguruan tinggi tapi ia ahli dalam seni musik maupun seni lainnya” bisik Ben panjang lebar.
          Sore pun berganti malam. Tetapi aku masih memirkirkan gadis tadi, namanya Vienna, nama yang cantik sama seperti orangnya. Sangat disayangkan sekali gadis secantik dia tidak meneruskan ke perguruan tinggi, mungkin karena faktor ekonomi orang tuanya.
          Paginya aku dan Ben membantu para nelayan mendorong perahunya ke pantai. Tidak sengaja aku melihat gadis itu sedang menjemur tembikar dan hasil seni perajut anyaman yang kemarin. Aku memandanginya dan Ben menarikku menghampirinya.
          “Hallo Vien? Apa kabar?” tanyanya kepada Vienna, ia menoleh “oh mas Ben, baik, mas sendiri gimana ?” tanyanya balik “baik juga, oh ya Vien, kenalin ini Dave” katanya seraya senyum, “Albert Davidio” kataku senyum seraya mengulurkan tangan, “Vienna Larasati” jawabnya senyum lesung pipit dan mengagguk tapi tak menjabat tangan, mungkin memang adat disini. “ mungkin kalian bisa ngobrol Ben mau bantu bapak dulu, ditinggal ya...” sahut Ben memecahkan keheningan.
          “perlu bantuan?” tanyaku senyum, “ndak usah repot-repot, udah mau selesai kok” sahutnya. “nggak ngerepotin kok” tantangku. “terimakasih” sahutnya seraya senyum menggemaskan. Gadis ini memang benar-benar sopan, santun dan ramah juga manis membuatku semakin kagum. Ia pun menjinjing alat lukis dan membawa sebuah anyaman.
          “mau kemana?” tanyaku ingin tahu, aku pun mengikuti arah pandangnya, “ke atas bukit deket pohon kelapa sawit diatas” jawabnya sekali lagi senyum yang tidak dibuat-buat. “Boleh ikut?” tanyaku ragu-ragu, “silakan...”
          Aku pun mengikutinya ke atas bukit, jalan disini cukup berkelok-kelok tapi tidak terjal. Cukup jauh untuk sampai ke atas bukit dan memerlukan waktu setengah jam-an. Sampai disana, disekeliling padang rumput terbentang luas, dikelilingi pohon kelapa sawit juga disertai angin sepoi-sepoi yang membuat kita bagaikan melayang diudara.  
          Aku melihat dia mengoreskan cat ke atas lukisan anyaman yang kemarin ia buat, dengan gerakan luwes ia menggoreskan cat itu dengan rapih dan proporsional, keterpaduan warnanya pun pas dengan warna coklat anyamannya.         “Sudah berapa lama berkarya seni seperti ini” tanyaku sambil duduk di sampingnya, ia tidak menoleh “sejak kecil mas..” sahutnya. “kok mas? Panggil aja Al atau Dave, nggak usah pake mas..” kritikku. “oh  iya mas ehh Dave” sahutnya tersenyum. “nah gitu, kan lebih enak. Lagian umur kita kan gak jauh beda..” kataku polos. “umur mas maksud saya umur kamu berapa?” tanyanya, “20” sahutku seraya berdiri memfoto pemandangan hamparan padang rumput yang indah, juga diam-diam memfoto Vienna, tapi ia tidak tahu.
          “Vien senyum..” ia menoleh “jepret!” kamera foto berbunyi. “ahh jangan dong mas ehhh Dave, dihapus aja, nanti kameramu rusak lho” seraya menghampiriku, aku pun berlari ia pun mengejarku tapi tidak benar-benar mengejar,  “Dave tolong dihapus” pintanya memelas. “oke.. nanti aku hapus”  akhirnya aku menyerah.
          Dihari-hari berikutnya, aku melakukan kegiatan yang sama, membantu Ben, berpetualangan, dan bermain bersama anak-anak dan Vienna. Termasuk hari ini.
          “Udah tembak aja kalo emang cinta, apa susahnya Cuma bilang C. I. N. T. A. Ya gak?” ledek Ben saat sarapan pagi, “tapi resikonya Ben?” kataku hampa. “eitss masalah itu gampang, terima gak keterima udah takdir hahahah canda ” tawa Ben. “nanti kubantu kok tenang aja..” tawar Ben, “benerr??” tanyaku ragu-ragu. “iya janji deh, oh iya besok pulang ya.. kenapa gak seminggu lagi disini kita petualang lagi broo.. heheh” kata Ben, “gak bisa, jadwal kuliah padat, lagian perjalanan dari sini ke Jakarta jauh broo..” Ben mengangguk. “Ya udah buru geh samperin Vienna sana nanti keburu jadi angin lhoo” mendengar kata-kata Ben, aku pun menguatkan tekad menghampiri Vienna ke tempat penjemuran tembikar.
          Sampai disana aku mencari-cari sosok wajah berseri-seri nan merona itu, ternyata ia lagi bersama ibunya dan seorang pemuda yang tak ku kenal sedang mengobrol santai dicampur canda tawa. Aku menghampirinya.
          “Hai Vien” sapaku. “ehh.. mas Dave, ibu ini Dave teman mas Ben” katanya, seraya memperkenalkanku, aku pun salim kepada ibunya Vienna. “mas Dave kenalkan ini Faris” kata Vienna, “Dave” kataku, “Faris” seraya menjabat tangan.
          “Ibu tinggal ya anak-anak” kata ibunya Vienna, anak-anak?? Kita sudah besar kok bu, heheh.
          “Vien bisa bicara bentar gak?” ia pun mengangguk dan mengikutiku ke tepi pantai. “mau ngomong apa mas ehh Dave?” tanyanya, “hmmm, harus mulai dari mana ya, oh iya sebelumnya aku mau tanya kamu pernah suka sama orang?” ia tidak merespon apapun hanya menunduk namun terlihat dari samping mukanya memerah. “baiklah, aku tahu jawabannya.. kalo gitu aku Cuma mau ngomong aku suka sama  kamu..” ia pun menoleh, ternyata aku lancar melontarkan kalimat itu uhhh lega. “jangan bercanda Dave, gak lucu..” sahutnya.
          “Aku gak bercanda, serius lhoo” kataku, aku memegang kedua tangannya “vien aku cinta kamu, aku suka  kamu dari pertama kali kita ketemu” lanjutku dengan muka serius dan memerah, ia pun melepaskan tangannya dengan sentakan, “maaf Dave aku gak bisa..” jawabnya menunduk, “tapi kenapa, apa alasannya?” tanyaku menuntut, “rumit penjelasannya” ia pun menghindariku, aku mengikutinya
“coba jelasin alasannya..” tuntutku, “tolong jangan paksa aku” ia pun menangis seraya berlari ke dalam ruang tembikar.
          Hatiku, rasanya seperti tertusuk jarum ribuan kali, tersayat-sayat, ingin menangis tapi tak mampu, oh ada apa gerangan? Apakah seperti ini cinta bertepuk sebelah tangan?
          Malam hari aku pun berjalan seorang diri di tepi pantai meratapi apa yang kuharapkan sia-sia, tak ada hasil sampai-sampai aku bertemu dengan seseorang nelayan dan pemuda yang bernama Faris itu. “Pak” sapaku, pak nelayan itupun menoleh ke arahku “oohh temannya Vienna ya? ” tanyanya, “iya pak” sahutku, “sudah kenal dengan Faris?” tanyanya ramah, “iya pak tadi pagi” sahutku senyum, ”kenalkan ini Faris calon suami Vienna” apa??? Calon suami??? Jadi itu alasan Vienna?? Tapi kenapa??? Ku rasa Vienna tidak menyukai pemuda itu.
          “jadi calon suami Vienna ya?” tanyaku seraya mencoba tuk senyum, ia pun mengangguk lalu pergi melanjutkan perjalanan.
          Sekarang hatiku hancur berkeping-keping, sesaat surga ini menjadi gelap, memudarkan bianglala, menggulung bentang cakrawala, menarik fajar dan di kejauhan, bergerak perlahan....... bayang-bayang malam.
          Paginya serasa semalam hanya ilusi dan mimpi buruk tapi inilah kenyataannya, Vienna sudah menjadi angin.
          “Serius nih? Mau pulang?” tanya Ben seraya membantuku membereskan koper, “ya” sahutku. “Maaf saya gak tau bakalan jadi kayak gini, tapi jangan patah semangat kayak gini juga, gak baik Mas Dave” ujar Ben. Aku pun menghabur ke depan pintu dan berjalan ke perahu dayung untuk pulang, “ya gue tahu kok, bener kata kamu Ben Vienna sudah..”kataku tak mampu melanjutkan kata-kata yang ingin ku lontarkan. “Sudah apa?” tanya Ben. “Sudah menjadi angin” saat itu juga Vienna tepat dihadapanku, membawa sesuatu yang ku hiraukan. “Mas Dave, sebelumnya aku minta maaf, aku tahu, aku hanya jadi duri untuk mas Dave.. tapi sungguh aku tak bermaksud seperti itu” katanya menunduk seraya memberikan yannng ia bawa. “Apa artinya?” tanyaku menatapnya lekat-lekat. “aku tak bisa memberikan sepenuhnya tapi hanya sebatas senja” aku terdiam sejenak mencoba mencerna setiap perkataanya, lalu aku tersadar ia menjawabnya.
Cintaku tak bertepuk sebelah tangan namun hanya sebatas senja yang ia berikan. Lalu gerakan refleks itu membuatku memeluknya erat-erat, ia pun menghentakannya. “Maaf..” kataku. “jangan patah semangat Mas, perjalanan masih panjang..” ujarnya saat aku sudah menaiki perahu dayung itu. “ iya Vien aku janji!!” kataku padanya saat perahu sudah mulai jalan.
Perahu mulai menjauh dan itu mungkin akan membuatku tak bisa melupakan kenangan di desa. Tak akan bisa. Dan kini kutahu, disini aku mendapat pelajaran, wawasan, kasih sayang dari teman-teman, juga cinta vienna yang tak benar-benar sampai. Ya tak benar-benar sampai. Cinta bagaikan senja hanya sebatas bayang-bayang malam didalam temaram kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Poetry > Sebuah Puisi tentang Sebuah Perasaan

POEM - Stolen Of My Heart